Memahami Kandungan Hadis Dihubungkan Dengan Tugas Nabi Muhammad SAW.

Memahami Kandungan Hadis dihubungkan dengan
Tugas Nabi Muhammad SAW.

Sebagian ulama mengatakan bahwa contoh hadis Nabi yang berhubungan dengan fungsi Nabi sebagai Rasulullah adalah berbagai penjelasan Nabi terhadap kandungan al- Qur’an, pelaksanaan ibadah, dan penetapan halal dan haramnya sesuatu. Meskipun menyangkut halal dan haramnya sesuatu masih diperselisihkan oleh para ulama.
Untuk hadis yang dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah, ulama menetapkan kesepakatan bahwa wajib mematuhinya.[1] Untuk hadis yang dikemukakan oleh Nabi sedang kapasitasnya sebagai seorang  kepala Negara dan pemimpin masyarakat, misalnya pengiriman angkatan perang dan pemungutan dana baitul mal, kalangan ulama ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut tidak menjadi ketentuan syariat yang bersifat umum.[2]
Menurut Mahmud Syaltut, mengetahui tingkah laku Nabi saw. dengan mengaitkan fungsi Nabi tatkala beliau lakukan sangat besar manfaatnya. Ulama yang pertama kali memahami kandungan hadis Nabi dengan menghubungkan dengan fungsi Nabi saw. adalah Imam  Syihab al- Qarafi (w. 694 H). Al- Qarafi melakukan kajian tentang ucapan dan perbuatan Rasulullah saw beserta perbedaan kondisinya antara beliau sebagai pemimpin , hakim, dan sebagai pembawa ajaran dari Allah swt. Hal ini berpengaruh pada keumuman hukum dan kekhususannya serta universalnya atau temporalnya.[3] 
Klasifikasi hadis Nabi menurut fungsi-fungsi Nabi tatkala hadis itu dikemukakan memang tidak mudah disusun, tetapi perlu dilakukan. Insya Allah berikut ini akan dikemukakan contoh-contoh hadis yang dihubungkan dengan kapasitas Nabi saw.
1.      Sebagai Rasulullah saw.
Dalam memahami hadis Nabi saw. seorang pencinta hadis harus memahami dan meneliti hadis Nabi tersebut,  apakah hadis itu ketika diucapkan, beliau berkapasitas sebagai Nabi atau Rasul?. Meskipun hal ini sulit untuk dilakukan tapi sangat dibutuhkan dalam memahami hadis-hadis Rasulullah saw. Karena Nabi adalah manusia layaknya manusia yang lain tentunya memiliki sifat sebagaimana manusia umumnya, yang terkadang keliru dalam mengambil sebuah kebijakan mengangkut masalah keduniaan. Hal ini tergambar dalam sabda beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari “bahwasanya Ummu Salamah ra., istri Nabi saw, memberitakan dari Rasulullah saw. bahwasanya beliau mendangar pertengkaran di (muka) pintu kamar beliau. Maka beliau keluar menemui mereka, kemudian beliau bersabda:
  إنما أنا بشر وإنه يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون أبلغ من بعض فأحسب أنه صدق فأقضي له بذلك فمن قضيت له بحق مسلم فإنما هي قطعة من النار فليأخذها أو فليتركه
Artinya: Sesungguhnya saya adalah manusia (seperti manusia lainnya). Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran mendatangi saya, maka mungkin saja sebagian dari kalian (orang-orang yang bertengkar) lebih mampu (berargume) daripada yang lainnya, maka saya (Nabi) menduga bahwa sungguh dia yang benar,  lalu saya putuskan (perkara itu) dengan memenangkannya. Barangsiapa yang telah saya putusnya dengan (mengambil) hak sesama muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah potongan bara api neraka, maka, (terserah) dia mengambilnya atau menolaknya.
Penulis akan kemukakan beberapa hadis mengenai suatu hadis ketika disabdakan beliau berkapasitas sebagai Nabi dan Rasul. Diantaranya sebagai berikut :
a.     Keistimewaan Nabi saw.
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: فضلت على الأنبياء بست أعطيت جوامع الكلم ونصرت بالرعب وأحلت لي الغنائم وجعلت لي الأرض طهورا ومسجدا وأرسلت إلى الخلق كافة وختم بي النبيون .
Artinya: Dari Abu hurairah R.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Aku diberikan keutamaan oleh Allah Swt di atas para Nabi lainnya dengan enam hal: Aku dibekali jami’    al- kalim (kemampuan untuk berbicara singkat namun mengandung makna yang padat/luas). Aku ditolong oleh Allah Swt dengan rasa takut, cemas dan gelisah di hati musuh- musuhku. Ganimah (harta rampasan perang) dijadikan halal untukku. Bumi dijadikan masjid bagiku, dan tanahnya suci untuk bersuci. Aku diutus kepada semua makhluk (jin dan manusia) pada umumnya. Dan aku dijadikan sebagai penutup/ pengakhir para Nabi.
Hadis lain;
أخبرنا جابر بن عبد الله: أن النبي صلى الله عليه و سلم قال (أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي نصرت بالرعب مسيرة شهر وجعلت لي الأرض مسجدا وطهورا فأيما رجل من أمتي أدركته الصلاة فليصل وأحلت لي المغانم ولم تحل لأحد قبلي وأعطيت الشفاعة وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة وبعثت إلى الناس عامة(
Artinya : Jabir bin Abdullah telah menceritakan bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda : “Saya dikaruniai (oleh Allah) lima hal,yang belum pernah dikaruniakan kepada selain saya. Saya ditolong (dalam peperangan,sehingga ) perasaaan musuh (dalam peperangan) menjadi gentar (menghadapi saya) dalam masa peperangan yang memakan waktu sekitar sebulan; bumi dijadikan sebagai tempat shalat dan suci bagi saya dan karenanya, siapa saja dari ummatku yang mendapatkan waktu shalat,maka hendaklah dia shalat (di bumi mana saja dia berada); dihalalkan bagi saya harta rampasan perang, sedang sebelum saya harta tersebut diharamkan; saya dikaruniai kemampuan memberi syafa`ah; dan Nabi (sebelum saya) dibangkit untuk kaum (bangsa) tertentu, sedangkan saya dibangkit untuk manusia secara umum (seluruhnya).
Secara tekstual kedua hadis tersebut memberi informasi tentang keutamaan Nabi Muhammad saw. dibandingkan dengan para Nabi sebelumnya. Pernyataan itu bersifat universal. Nabi Muhammad tatkala menyampaikan pernyataan  itu berada dalam kapisitasnya sebagai Rasulullah sebab informasi yang beliau sampaikan tidak mungkin didasarkan atas pertimbangan rasio, tetapi semata-mata didasarkan atas petunjuk wahyu Allah. Pertimbangan yang demikian itu tidaklah berarti bahwa dalam fungsi Nabi saw.sebagai rasulullah, pertimbangan rasio tidak dikenal sama sakali.[4] Dengan demikian, salah satu indikator sebuah hadis Nabi dinyatakan oleh Nabi Saw. Dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah adalah hadis bersangkutan tidak mungkin atau sulit didasarkan atas pertimbangan rasio, tetepi semata-mata atas petunjuk wahyu Allah.
b.      Hadis Tentang Para Pelukis
حدثنا الحميدي حدثنا سفيان حدثنا الأعمش عن مسلم قال كنا مع مسروق في دار يسار بن نمير فرأى في صفته تماثيل فقال سمعت عبد الله قال: سمعت النبي صلى الله عليه و سلم يقول (إن أشد الناس عذابا عند الله يوم القيامة المصورون).
Artinya :“(Hadis riwayat) dari Abdullah bin Mas`ud, Rasulullah saw. telah bersabda : “sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat di hadirat Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).                                             
             Berbagai hadis Nabi yang berisi larangan melukis dan memajang lukisan makhluk bernyawa itu dinyatakan dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah. Dikatakan demikian , tegasnya , karena dalam hadis itu dikemukakan berita  tentang nasib masa depan para pelukis dihari kiamat kelak.dengan demikian,hadis yang mengandung berita masa depan dihari kiamat dapat dijadikan sebagai salah satu indikator sebuah hadis dinyatakan oleh Nabi saw. dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah.[5]                                                                                                  
             Dalam realitas kehidupan sekarang ini banyak ditemukan rumah-rumah yang dihiasi dengan lukisan dan patung yang bernyawa baik di dalam maupun dihalaman rumah bahkan di bangunan kota dan fasilitas umum lainnya. Keadaan seperti ini menjadikan seni lukis sebagai kebutuhan hidup di era modern yang tidak bisa terhindarkan. Pada Ilmu Kedokteran, Georafi, Biologi, Fisika dan lain-lain sangat diperlukan. Ketika merespon hadis Nabi tersebut mereka terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, kelompok yang melarang lukisan secara mutlak. Kelompok kedua, kelompok yang membolehkan lukisan secara mutlak. Kelompok pertama memahami hadis tersebut secara tekstual. Sedangkan kelompok kedua memahami hadis tersebut Musykil di era modern ini serta bertentangan dengan rasio dan nalar karena tidak akomodatif terhadap perkembangan zaman padahal ajaran Islam cocok untuk semua zaman dan tempat.                                                                                                                                                 
             Pemahaman secara tekstual terhadap hadis di atas cukup banyak pendukungnya.karena,cukup banyak hadis nabi yang melarang pembuatan dan pemajangan lukisan yang bernyawa (manusia dan hewan) dan karenanya pula para pelukis muslim zaman klasik mengarahkan karya-karya lukis mereka kedalam bentuk kaligrafi, objek tumbuh-tumbuhan dan pemandangan alam.[6]                                                                                                                     
             Hadis tersebut sangat terkait dengan pratek keagamaan masyarakat pada saat hadis itu disabdakan. Pada saat itu, masyarakat belum terlepas dari kepercayaan Animisme dan Politeisme (mensyerikatkan Allah), yakni penyembahan terhadap patung dan semacamnya. Dalam kapasitas Nabi sebagai Rasul, Nabi berusaha keras agar masyarakat Islam terlepas dari kemusyrikan atau pratek keagamaan yang menyesatkan itu. Salah satu yang ditempuh adalah mengeluarkan larangan memprodusi dan memajang lukisan atau patung makhluk yang bernyawa. Jika tidak dikeluarkan larangan seperti itu, maka akan sulit melepaskan kepercayaan lama. Jadi, hadis ini sebenarnya secara antropologis disabdakan dalam kondisi masyarakat transisi dari kepercayaan animisme dan politeisme kepercayaan monoteisme, dari watsaniyyah ke tauhid, sehingga perlu adanya larangan secara keras terhadap pratek yang sangat potensial dapat menjerumuskan kepada kemusyrikan.[7]                                                                                                                                      
             Kalau ‘illat al-hukum-nya demikian , maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan terjerumus ke dalam kemusyrikan , khususnya dalam bentuk penyembahan dalam lukisan , membuat dan memajang lukisan diperbolehkan . Kaidah ushul fiqih menyatakan:                     
الحكم يدور مع العلة ؤجودا وعدما                  
Artinya:  “Hukum itu berputar pada ‘illatnya, keberadaan dan ketiadaannya”.                                              Maksudnya, hukum itu ditentukan oleh ‘illatnya, bila ‘illatnya ada, maka hukumnya tetap ; dan bila ‘illatnya tidak ada, maka hukumnya pun berubah.
             Pemahaman secara kontekstual, dapat saja menimbulkan ekses. Misalnya, lukisan di lukis pada saat masyarakat berkeyakinan bahwa menyembah patung adalah musyrik. Di tempat lain atau tatkala sikap masyarakat telah berubah , lukisan itu lalu disembah oleh orang . kalau yang demikian itu terjadi, maka apakah pelukisnya terlepas dari tanggung jawab atas penyembahan terhadap lukisannya itu? yang salah memang orang menyembah lukisan tersebut , tetapi bagaimana pun juga sang pelukis tidak dapat mengelak dari tanggung jawab.[8]                             
Dalam kasus di atas , sulit menghindari pemahaman tekstual , meskipun ada jalan untuk memahaminya secara kontekstual. Dengan demikian, hadis Nabi yang dinyatakan dalam kedudukan beliau sebagai  Rasulullah , di samping dapat dipahami secara tekstual juga dapat dipahami secara kontekstual.[9]
2.      Sebagai Kepala Negara atau Pemimpin Masyarakat
Dalam kehidupan bernegara, kehadiran seorang pemimpin adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga berbagai stabilitas baik politik, ekonomi, keamanan, maupun sosial. Karenanya, setiap negara memiliki aturan tentang persyaratan untuk menjadi seorang pemimpin. Menyangkut masalah kepemimpinan, Nabi saw selaku sebagai kepala negara sangat memperhatikan masalah kepemimpinan. Nabi saw  mengharuskan orang-orang mukmin agar taat pada pemimpin walaupun pemimpin tersebut dari budak Habsyi. Nabi juga mensyaratkan agar yang menjadi pemimpin adalah dari suku Quraisy. Hadis tentang kepemimpinan dari suku Quraisy dapat ditemukan dalam kitab hadis yang diriwayatkan oleh Imam al- Bukhari,[10] Imam Muslim,[11] Imam al- Tirmidzi,[12] dan Imam Ahmad bin Hanbal.[13]Sebagaimana hadis berikut;
a.       Hadis dari Abdullah bin Umar, berbunyi:       
عن ابن عمر رضي الله عنهما: عن النبي صلى الله عليه و سلم قال :لا يزال هذا الأمر في قريش ما بقي منهم اثنان.
Artinya: Dari Abdullah bin Umar , Rasulullah SAW . bersabda :”Dalam urusan (beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu (menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua orang  saja.  (HR.Bukhari, Muslim,dan Ahmad).
b.      Hadis dari Anas bin Malik, berbunyi:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كُنَّا فِي بَيْتِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَجَاءَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى وَقَفَ فَأَخَذَ ، بِعِضَادَتيِ الْبَابِ ، فَقَالَ : الأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ ، وَلَهُمْ عَلَيْكُمْ حَقٌّ ، وَلَكُمْ مِثْلُ ذَلِكَ ، مَا إِذَا اسْتُرْحِمُوا رَحِمُوا ، وَإِذَا حَكَمُوا عَدَلُوا ، وَإِذَا عَاهَدُوا وَفَّوْا ، فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ ، وَالْمَلاَئِكَةِ ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.
Artinya: Anas berkata: kami berada di rumah salah seorang sahabat Anshar, Nabi saw datang dan berhenti kemudian memegang tiang pintu lalu bersabda: “ para pemimpin itu adalah dari suku Quraisy, mereka memiliki hak atas kamu dan kamu memiliki hak yang sama. Ketika kamu meminta belas kasih, mereka (memberi) belas kasih. Ketika mereka memerintah, mereka adil, dan ketika mereka berjanji, mereka menepati. Barangsiapa dari mereka yang tidak berbuat demikian maka laknat Allah dan Malaikat serta seluruh manusia. (HR. Ahmad).
Apabila kandungan hadis-hadis di atas dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka dapat dinyatakan bahwa pada saat hadis-hadis itu dinyatakan , Nabi berada dalam fungsinya sebagai kepala Negara atau pemimpin masyarakat, yang menjadi indikasi (qarinah) antara lain adalah ketetapan yang bersifat primordial ,sangat mengutamakan suku Quraisy. Hal itu tidak sejalan dengan , misalnya, petunjuk Al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang paling utama di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Mengutamakan suku Quraisy memang bukan ajaran dasar dari agama Islam yang di bawa oleh Nabi. hadis itu dikemukakan sebagai ajaran yang bersifat temporal .
Menurut Ibnu Khaldum (732-808 H/1332-1406 M), hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya , melainkan kepada kemampuan dan kewibawaannya . Pada masa Nabi,orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat yang dipimpinnya adalah dari kalangan Quraisy . Apabila suatu masa ada orang bukan suku Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin , maka dia dapat ditetapkan sebagai pemimpin , termasuk kepala Negara.[14]
Hadis ini sebenarnya tidak musykil apabila dipahami dengan menggunakan pendekatan bahasa dan sosiologi. Yang dimaksud dengan pendekatan bahasa adalah memahami hadis dengan melihat struktur bahasa yang terdapat pada hadis tersebut dan makana semantik Dalalahnya. Adapun pendekata sosiologi dalam pemahaman hadis tersebut adalah memahami hadis Nabi ini dengan memperhatikan dan menguak realitas serta seting sosial pada saat hadis tersebut disabdakan. Tapi jangan pula meninggalkan pendapat yang berkembang seputar pemahaman teks hadis.
Apabila dilihat dari struktur bahasa yang digunakan, maka bentuk dari hadis tersebut adalah hadis Ikhbar (informatif) dan tidak ada satupun hadis yang berbentuk perintah. Bentuk Ikhbar, meskipun mengandung pengertian tuntutan (thalab), tetapi tidak dianggap tuntutan secara pasti sepangjang tidak dibarngi dengan qarinah atau isyarat yang menunjukkan penegasan. Hadis-hadis yang ada tentang hal itu tidak disertai dengan qarinah apaun. Dengan semikian hadis-hadis tersebut menunjukkan perintah sunnah bukan perintah wajib.[15] Informasi ini menujukkan bahwa “sebaiknya” kepala negara itu dipilih dari suku Quraisy, sebab secara sosiologis, mereka adalah kaum yang berpengaruh, berwibawa dan cakap sehingga memiliki kualifikasi untuk menduduki jabatan khalifah pada waktu itu.
Makna dalalah tersebut juga didukung dengan materi hadis lain yang secara sosiologis, tidak menyuarakan unsur sektarian primordial, yakni hadis yang menyatakan keharusan orang-orang mukmin taat kepada pemimpin walaupun pemimpin tersebut dari budak Habsyi. Realitas empiris yang terjadi dalam kehidupan politik, Rasulullah saw pernah mengangkat Abdullah bin Rawahah, Zaid bin Haritsa, dan Usamah bin Zaid menjadi amir (pemimpin), padahal mereka bukan keturunan Quraisy.[16]
            Dengan demikian, pemahaman terhadap hadis yang dinyatakan oleh Nabi dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat harus dipahami secara kontekstual.
3.      Sebagai Hakim
Adakalanya suatu hadis dinyatakan Nabi saw dalam kapasitas beliau sebagai hakim atau manusia layaknya manusia yang lain. Sebagai contoh adalah hadis Nabi tentang keterbatasan pengetahuan hakim, berbunyi:
   إنما أنا بشر وإنه يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون أبلغ من بعض فأحسب أنه صدق فأقضي له بذلك فمن قضيت له بحق مسلم فإنما هي قطعة من النار فليأخذها أو فليتركها
Artinya: Sesungguhnya saya adalah manusia (seperti manusia lainnya). Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran mendatangi saya, maka mungkin saja sebagian dari kalian (orang-orang yang bertengkar) lebih mampu (berargumen) daripada yang lainnya, maka saya (Nabi) menduga bahwa sungguh dia yang benar,  lalu saya putuskan (perkara itu) dengan memenangkannya. Barangsiapa yang telah saya putusnya dengan (mengambil) hak sesama muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah potongan bara api neraka, maka, (terserah) dia mengambilnya atau menolaknya. (HR. Jama’ah).
Hadis tersebut memberi petunjuk atas pengakuan Nabi saw sebagai manusia layaknya manusia umumnya dan sebagai hakim. Dalam melaksanakan kedua fungsi itu, Nabi mengaku memiliki kekurangan, mungkin saja dapat dikelabuhi oleh kepintaran pihak yang berperkara dalam mengemukakan argument-argumennya untuk memenangkan perkara. Walaupun, sesungguhnya apa yang dia katakan itu tidak benar. Dalam mengadili perkara, pengetahuan Nabi terbatas pada apa yang dinyatakan oleh pihak-pihak yang berperkara berdasarkan bukti-bukti yang mereka ajukan. Bila keputusan Nabi ternyata salah sebagai akibat dari kepintaran dari pihak yang berperkara, maka dosanya ditanggung oleh pihak yang berhasil mengelabuhi Nabi tersebut.
Apa yang berlaku bagi hakim sebagaimana yang dikemukakan oleh Nabi saw. tersebut bersifat universal. Akan tetapi, keputusan yang ditetapkan oleh hakim disuatu segi mungkin bersifat universal, temporal, ataupun lokal, sedangkan di segi yang lain, keputusan hakim itu mungkin benar dan mungkin tidak benar. Dengan demikian, hadis Nabi tersebut dinyatakan oleh Nabi saw. dalam kapasitas beliau sebagai hakim.[17]
4.      Sebagai Pribadi
Dalam kapasitas beliau sebagai manusia layaknya manusia yang lain, banyak pernyataan Nabi saw, yang berkaitan dengan beliau ketika beliau menyabdakan hadis tersebut layaknya manusia umumnya. Contoh;
عن عباد بن تميم عن عمه: أنه رأى رسول الله صلى الله عليه و سلم مستلقيا في المسجد واضعا إحدى رجليه على الأخرى .

Artinya: Dari Ubad bin Tamin dari pamannya (Abdullah bin Zaid) bahwasanya dia telah melihat Rasulullah saw. Berbaring dalam mesjid sambil meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain. (HR. Bukhari,Muslim, dan Ahmad).
Secara tekstual, hadis di atas menunjukkan bahwa cara Nabi Saw. Berbaring dalam posisi meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain. Pada saat itu tampaknya Nabi sedang merasa nyaman dengan berbaring dalam posisi seperti yang digambarkan oleh hadis di atas, meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain.Perbuatan itu dilakukan oleh Nabi Saw. Dalam kapasitas beliau sebagai pribadi.
  Menghubungkan kandungan petunjuk hadis Nabi dengan fungsi beliau tatkala hadis itu terjadi, selain dimungkinkan juga sangat membantu untuk memahami kandungan petunjuk hadis Nabi secara benar. Hanya saja, usaha yang demikian itu tidak mudah dilakukan dan tidak mudah disepakati oleh ulama. Pada sisi lain, menghubungkan kandungan petunjuk hadis Nabi dengan fungsi beliau tatkala hadis itu terjadi menunjukkan bahwa tidak semua hadis Nabi dapat dipahami secara tekstual, tetapi kadang menghendaki pemahaman kontekstual. Itu berarti bahwa kandungan hadis Nabi ada yang bersifat universal,temporal, atau lokal.[18]
Wallahu A’alam








Penutup
Klasifikasi hadis Nabi menurut fungsi-fungsi Nabi tatkala hadis itu di memang tidak mudah disusun, tetapi perlu dilakukan.
Untuk hadis yang dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah, ulama menetapkan kesepakatan bahwa wajib mematuhinya. Untuk hadis yang dikemukakan oleh Nabi sedang kapasitasnya sebagai seorang  kepala Negara dan pemimpin masyarakat, misalnya pengiriman angkatan perang dan pemungutan dana baitul mal, kalangan ulama ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut tidak menjadi ketentuan syariat yang bersifat umum.


[1] Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, h. 33
[2] Mahmud Syaltut, al- Islam ‘Aqidah Wa Syari’ah, h. 509
[3] Arifuddin Ahmad, Paradigma Memahami Hadis Nabi, h. 177
[4] Syuhudi Ismail, Tekstual dan Kontekstual, h. 35
[5] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 180.
[6] Ibid.
[7] Nizar Ali, Hadis Versus Sains, h. 100-101.
[8] Syuhudi Ismail, Tekstual dan Kontekstual, h. 37-38
[9] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 182
[10] Al- Bukhari, Shahih al- Bukhari, juz. III, h. 1290
[11] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Juz. III, h. 1452
[12] Al- Tirmidzi, Sunan al- Tirmidzi, Juz. V, h. 23
[13] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz. III, h. 183
[14] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 183-184
[15] Taqiy al- Din al- Nabhani, Sistem Khalifah: Konsep  Dan Kepemimpinan Umat Islam Seluruh Dunia. Terjemahan Muhammad al- Khaththat (Jakarta: Khazanah Islam, 1995), h. 37
[16] Nizar Ali, Hadis Versus Sains, h. 94
[17] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 184-186
[18] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 186-187

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berakhirnya Dinasty Ayyubiyah

Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasty Ayyubiyah

Hukum Pencurian Dalam Islam