Memahami Kandungan Hadis Dihubungkan Dengan Tugas Nabi Muhammad SAW.
Memahami Kandungan Hadis dihubungkan dengan
Tugas Nabi Muhammad SAW.
Sebagian ulama mengatakan bahwa contoh hadis Nabi yang berhubungan dengan fungsi Nabi sebagai Rasulullah adalah berbagai penjelasan Nabi terhadap kandungan al- Qur’an, pelaksanaan ibadah, dan penetapan halal dan haramnya sesuatu. Meskipun menyangkut halal dan haramnya sesuatu masih diperselisihkan oleh para ulama.
Untuk
hadis yang dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah,
ulama menetapkan kesepakatan bahwa wajib mematuhinya.[1]
Untuk hadis yang dikemukakan oleh Nabi sedang kapasitasnya sebagai
seorang kepala Negara dan pemimpin masyarakat, misalnya pengiriman
angkatan perang dan pemungutan dana baitul mal, kalangan ulama ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut tidak menjadi ketentuan syariat yang bersifat umum.[2]
Menurut
Mahmud Syaltut, mengetahui tingkah laku Nabi saw. dengan mengaitkan
fungsi Nabi tatkala beliau lakukan sangat besar manfaatnya. Ulama yang
pertama kali memahami kandungan hadis Nabi dengan menghubungkan dengan
fungsi Nabi saw. adalah Imam Syihab al- Qarafi (w. 694 H). Al- Qarafi
melakukan kajian tentang ucapan dan perbuatan Rasulullah saw beserta
perbedaan kondisinya antara beliau sebagai pemimpin , hakim, dan sebagai
pembawa ajaran dari Allah swt. Hal ini berpengaruh pada keumuman hukum
dan kekhususannya serta universalnya atau temporalnya.[3]
Klasifikasi
hadis Nabi menurut fungsi-fungsi Nabi tatkala hadis itu dikemukakan
memang tidak mudah disusun, tetapi perlu dilakukan. Insya Allah berikut
ini akan dikemukakan contoh-contoh hadis yang dihubungkan dengan
kapasitas Nabi saw.
1. Sebagai Rasulullah saw.
Dalam
memahami hadis Nabi saw. seorang pencinta hadis harus memahami dan
meneliti hadis Nabi tersebut, apakah hadis itu ketika diucapkan, beliau
berkapasitas sebagai Nabi atau Rasul?. Meskipun hal ini sulit untuk
dilakukan tapi sangat dibutuhkan dalam memahami hadis-hadis Rasulullah
saw. Karena Nabi adalah manusia layaknya manusia yang lain tentunya
memiliki sifat sebagaimana manusia umumnya, yang terkadang keliru dalam
mengambil sebuah kebijakan mengangkut masalah keduniaan. Hal ini
tergambar dalam sabda beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari “bahwasanya Ummu Salamah ra., istri Nabi saw, memberitakan dari
Rasulullah saw. bahwasanya beliau mendangar pertengkaran di (muka) pintu
kamar beliau. Maka beliau keluar menemui mereka, kemudian beliau
bersabda:
إنما
أنا بشر وإنه يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون أبلغ من بعض فأحسب أنه صدق
فأقضي له بذلك فمن قضيت له بحق مسلم فإنما هي قطعة من النار فليأخذها أو
فليتركه
Artinya:
Sesungguhnya saya adalah manusia (seperti manusia lainnya).
Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran mendatangi saya, maka
mungkin saja sebagian dari kalian (orang-orang yang bertengkar) lebih
mampu (berargume) daripada yang lainnya, maka saya (Nabi) menduga bahwa
sungguh dia yang benar, lalu saya putuskan (perkara itu) dengan
memenangkannya. Barangsiapa yang telah saya putusnya dengan (mengambil)
hak sesama muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah potongan bara
api neraka, maka, (terserah) dia mengambilnya atau menolaknya.
Penulis
akan kemukakan beberapa hadis mengenai suatu hadis ketika disabdakan
beliau berkapasitas sebagai Nabi dan Rasul. Diantaranya sebagai berikut :
a. Keistimewaan Nabi saw.
عن
أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: فضلت على الأنبياء بست
أعطيت جوامع الكلم ونصرت بالرعب وأحلت لي الغنائم وجعلت لي الأرض طهورا
ومسجدا وأرسلت إلى الخلق كافة وختم بي النبيون .
Artinya:
Dari Abu hurairah R.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Aku
diberikan keutamaan oleh Allah Swt di atas para Nabi lainnya dengan enam
hal: Aku dibekali jami’ al- kalim (kemampuan untuk berbicara
singkat namun mengandung makna yang padat/luas). Aku ditolong oleh Allah
Swt dengan rasa takut, cemas dan gelisah di hati musuh- musuhku.
Ganimah (harta rampasan perang) dijadikan halal untukku. Bumi dijadikan
masjid bagiku, dan tanahnya suci untuk bersuci. Aku diutus kepada semua
makhluk (jin dan manusia) pada umumnya. Dan aku dijadikan sebagai
penutup/ pengakhir para Nabi.
Hadis lain;
أخبرنا
جابر بن عبد الله: أن النبي صلى الله عليه و سلم قال (أعطيت خمسا لم يعطهن
أحد قبلي نصرت بالرعب مسيرة شهر وجعلت لي الأرض مسجدا وطهورا فأيما رجل من
أمتي أدركته الصلاة فليصل وأحلت لي المغانم ولم تحل لأحد قبلي وأعطيت
الشفاعة وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة وبعثت إلى الناس عامة(
Artinya
: Jabir bin Abdullah telah menceritakan bahwasanya Rasulullah saw.
Bersabda : “Saya dikaruniai (oleh Allah) lima hal,yang belum pernah
dikaruniakan kepada selain saya. Saya ditolong (dalam
peperangan,sehingga ) perasaaan musuh (dalam peperangan) menjadi gentar
(menghadapi saya) dalam masa peperangan yang memakan waktu sekitar
sebulan; bumi dijadikan sebagai tempat shalat dan suci bagi saya dan
karenanya, siapa saja dari ummatku yang mendapatkan waktu shalat,maka
hendaklah dia shalat (di bumi mana saja dia berada); dihalalkan bagi
saya harta rampasan perang, sedang sebelum saya harta tersebut
diharamkan; saya dikaruniai kemampuan memberi syafa`ah; dan Nabi
(sebelum saya) dibangkit untuk kaum (bangsa) tertentu, sedangkan saya
dibangkit untuk manusia secara umum (seluruhnya).
Secara
tekstual kedua hadis tersebut memberi informasi tentang keutamaan Nabi
Muhammad saw. dibandingkan dengan para Nabi sebelumnya. Pernyataan itu
bersifat universal. Nabi Muhammad tatkala menyampaikan pernyataan itu
berada dalam kapisitasnya sebagai Rasulullah sebab informasi yang beliau
sampaikan tidak mungkin didasarkan atas pertimbangan rasio, tetapi
semata-mata didasarkan atas petunjuk wahyu Allah. Pertimbangan yang
demikian itu tidaklah berarti bahwa dalam fungsi Nabi saw.sebagai
rasulullah, pertimbangan rasio tidak dikenal sama sakali.[4]
Dengan demikian, salah satu indikator sebuah hadis Nabi dinyatakan oleh
Nabi Saw. Dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah adalah hadis
bersangkutan tidak mungkin atau sulit didasarkan atas pertimbangan
rasio, tetepi semata-mata atas petunjuk wahyu Allah.
b. Hadis Tentang Para Pelukis
حدثنا
الحميدي حدثنا سفيان حدثنا الأعمش عن مسلم قال كنا مع مسروق في دار يسار
بن نمير فرأى في صفته تماثيل فقال سمعت عبد الله قال: سمعت النبي صلى الله
عليه و سلم يقول (إن أشد الناس عذابا عند الله يوم القيامة المصورون).
Artinya
:“(Hadis riwayat) dari Abdullah bin Mas`ud, Rasulullah saw. telah
bersabda : “sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling
dahsyat di hadirat Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis” (HR.
Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Berbagai hadis Nabi yang berisi larangan melukis dan memajang lukisan
makhluk bernyawa itu dinyatakan dalam kapasitas beliau sebagai
Rasulullah. Dikatakan demikian , tegasnya , karena dalam hadis itu
dikemukakan berita tentang nasib masa depan para pelukis dihari kiamat
kelak.dengan demikian,hadis yang mengandung berita masa depan dihari
kiamat dapat dijadikan sebagai salah satu indikator sebuah hadis
dinyatakan oleh Nabi saw. dalam kapasitas beliau sebagai Rasulullah.[5]
Dalam realitas kehidupan sekarang ini banyak ditemukan rumah-rumah yang
dihiasi dengan lukisan dan patung yang bernyawa baik di dalam maupun
dihalaman rumah bahkan di bangunan kota dan fasilitas umum lainnya.
Keadaan seperti ini menjadikan seni lukis sebagai kebutuhan hidup di era
modern yang tidak bisa terhindarkan. Pada Ilmu Kedokteran, Georafi,
Biologi, Fisika dan lain-lain sangat diperlukan. Ketika merespon hadis
Nabi tersebut mereka terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, kelompok yang melarang lukisan secara mutlak. Kelompok kedua,
kelompok yang membolehkan lukisan secara mutlak. Kelompok pertama
memahami hadis tersebut secara tekstual. Sedangkan kelompok kedua
memahami hadis tersebut Musykil di era modern ini serta
bertentangan dengan rasio dan nalar karena tidak akomodatif terhadap
perkembangan zaman padahal ajaran Islam cocok untuk semua zaman dan
tempat.
Pemahaman secara tekstual terhadap hadis di atas cukup banyak
pendukungnya.karena,cukup banyak hadis nabi yang melarang pembuatan dan
pemajangan lukisan yang bernyawa (manusia dan hewan) dan karenanya pula
para pelukis muslim zaman klasik mengarahkan karya-karya lukis mereka
kedalam bentuk kaligrafi, objek tumbuh-tumbuhan dan pemandangan alam.[6]
Hadis tersebut sangat terkait dengan pratek keagamaan masyarakat pada
saat hadis itu disabdakan. Pada saat itu, masyarakat belum terlepas dari
kepercayaan Animisme dan Politeisme (mensyerikatkan
Allah), yakni penyembahan terhadap patung dan semacamnya. Dalam
kapasitas Nabi sebagai Rasul, Nabi berusaha keras agar masyarakat Islam
terlepas dari kemusyrikan atau pratek keagamaan yang menyesatkan itu.
Salah satu yang ditempuh adalah mengeluarkan larangan memprodusi dan
memajang lukisan atau patung makhluk yang bernyawa. Jika tidak
dikeluarkan larangan seperti itu, maka akan sulit melepaskan kepercayaan
lama. Jadi, hadis ini sebenarnya secara antropologis disabdakan dalam
kondisi masyarakat transisi dari kepercayaan animisme dan politeisme
kepercayaan monoteisme, dari watsaniyyah ke tauhid, sehingga perlu adanya larangan secara keras terhadap pratek yang sangat potensial dapat menjerumuskan kepada kemusyrikan.[7]
Kalau ‘illat al-hukum-nya
demikian , maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan
terjerumus ke dalam kemusyrikan , khususnya dalam bentuk penyembahan
dalam lukisan , membuat dan memajang lukisan diperbolehkan . Kaidah
ushul fiqih menyatakan:
الحكم يدور مع العلة ؤجودا وعدما
Artinya:
“Hukum itu berputar pada ‘illatnya, keberadaan dan
ketiadaannya”. Maksudnya,
hukum itu ditentukan oleh ‘illatnya, bila ‘illatnya ada, maka hukumnya
tetap ; dan bila ‘illatnya tidak ada, maka hukumnya pun berubah.
Pemahaman secara kontekstual, dapat saja menimbulkan ekses.
Misalnya, lukisan di lukis pada saat masyarakat berkeyakinan bahwa
menyembah patung adalah musyrik. Di tempat lain atau tatkala sikap
masyarakat telah berubah , lukisan itu lalu disembah oleh orang . kalau
yang demikian itu terjadi, maka apakah pelukisnya terlepas dari tanggung
jawab atas penyembahan terhadap lukisannya itu? yang salah memang orang
menyembah lukisan tersebut , tetapi bagaimana pun juga sang pelukis
tidak dapat mengelak dari tanggung jawab.[8]
Dalam
kasus di atas , sulit menghindari pemahaman tekstual , meskipun ada
jalan untuk memahaminya secara kontekstual. Dengan demikian, hadis Nabi
yang dinyatakan dalam kedudukan beliau sebagai Rasulullah , di samping
dapat dipahami secara tekstual juga dapat dipahami secara kontekstual.[9]
2. Sebagai Kepala Negara atau Pemimpin Masyarakat
Dalam
kehidupan bernegara, kehadiran seorang pemimpin adalah sesuatu yang
sangat penting untuk menjaga berbagai stabilitas baik politik, ekonomi,
keamanan, maupun sosial. Karenanya, setiap negara memiliki aturan
tentang persyaratan untuk menjadi seorang pemimpin. Menyangkut masalah
kepemimpinan, Nabi saw selaku sebagai kepala negara sangat memperhatikan
masalah kepemimpinan. Nabi saw mengharuskan orang-orang mukmin agar
taat pada pemimpin walaupun pemimpin tersebut dari budak Habsyi. Nabi
juga mensyaratkan agar yang menjadi pemimpin adalah dari suku Quraisy.
Hadis tentang kepemimpinan dari suku Quraisy dapat ditemukan dalam kitab
hadis yang diriwayatkan oleh Imam al- Bukhari,[10] Imam Muslim,[11] Imam al- Tirmidzi,[12] dan Imam Ahmad bin Hanbal.[13]Sebagaimana hadis berikut;
a. Hadis dari Abdullah bin Umar, berbunyi:
عن ابن عمر رضي الله عنهما: عن النبي صلى الله عليه و سلم قال :لا يزال هذا الأمر في قريش ما بقي منهم اثنان.
Artinya:
Dari Abdullah bin Umar , Rasulullah SAW . bersabda :”Dalam urusan
(beragama, bermasyarakat, dan bernegara) ini, orang Quraisy selalu
(menjadi pemimpinnya) selama mereka masih ada walaupun tinggal dua
orang saja. (HR.Bukhari, Muslim,dan Ahmad).
b. Hadis dari Anas bin Malik, berbunyi:
عَنْ
أَنَسٍ قَالَ : كُنَّا فِي بَيْتِ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَجَاءَ رسول
الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى وَقَفَ فَأَخَذَ ،
بِعِضَادَتيِ الْبَابِ ، فَقَالَ : الأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ ، وَلَهُمْ
عَلَيْكُمْ حَقٌّ ، وَلَكُمْ مِثْلُ ذَلِكَ ، مَا إِذَا اسْتُرْحِمُوا
رَحِمُوا ، وَإِذَا حَكَمُوا عَدَلُوا ، وَإِذَا عَاهَدُوا وَفَّوْا ،
فَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ ،
وَالْمَلاَئِكَةِ ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.
Artinya:
Anas berkata: kami berada di rumah salah seorang sahabat Anshar, Nabi
saw datang dan berhenti kemudian memegang tiang pintu lalu bersabda: “
para pemimpin itu adalah dari suku Quraisy, mereka memiliki hak atas
kamu dan kamu memiliki hak yang sama. Ketika kamu meminta belas kasih,
mereka (memberi) belas kasih. Ketika mereka memerintah, mereka adil, dan
ketika mereka berjanji, mereka menepati. Barangsiapa dari mereka yang
tidak berbuat demikian maka laknat Allah dan Malaikat serta seluruh
manusia. (HR. Ahmad).
Apabila
kandungan hadis-hadis di atas dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka
dapat dinyatakan bahwa pada saat hadis-hadis itu dinyatakan , Nabi
berada dalam fungsinya sebagai kepala Negara atau pemimpin masyarakat,
yang menjadi indikasi (qarinah) antara lain adalah ketetapan yang
bersifat primordial ,sangat mengutamakan suku Quraisy. Hal itu tidak
sejalan dengan , misalnya, petunjuk Al-Qur’an yang menyatakan bahwa yang
paling utama di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Mengutamakan
suku Quraisy memang bukan ajaran dasar dari agama Islam yang di bawa
oleh Nabi. hadis itu dikemukakan sebagai ajaran yang bersifat temporal .
Menurut
Ibnu Khaldum (732-808 H/1332-1406 M), hak kepemimpinan bukan pada etnis
Quraisynya , melainkan kepada kemampuan dan kewibawaannya . Pada masa
Nabi,orang yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh
masyarakat yang dipimpinnya adalah dari kalangan Quraisy . Apabila suatu
masa ada orang bukan suku Quraisy memiliki kewibawaan dan kemampuan
untuk memimpin , maka dia dapat ditetapkan sebagai pemimpin , termasuk
kepala Negara.[14]
Hadis
ini sebenarnya tidak musykil apabila dipahami dengan menggunakan
pendekatan bahasa dan sosiologi. Yang dimaksud dengan pendekatan bahasa
adalah memahami hadis dengan melihat struktur bahasa yang terdapat pada
hadis tersebut dan makana semantik Dalalahnya. Adapun pendekata
sosiologi dalam pemahaman hadis tersebut adalah memahami hadis Nabi ini
dengan memperhatikan dan menguak realitas serta seting sosial pada saat
hadis tersebut disabdakan. Tapi jangan pula meninggalkan pendapat yang
berkembang seputar pemahaman teks hadis.
Apabila dilihat dari struktur bahasa yang digunakan, maka bentuk dari hadis tersebut adalah hadis Ikhbar (informatif) dan tidak ada satupun hadis yang berbentuk perintah. Bentuk Ikhbar,
meskipun mengandung pengertian tuntutan (thalab), tetapi tidak dianggap
tuntutan secara pasti sepangjang tidak dibarngi dengan qarinah atau
isyarat yang menunjukkan penegasan. Hadis-hadis yang ada tentang hal itu
tidak disertai dengan qarinah apaun. Dengan semikian hadis-hadis
tersebut menunjukkan perintah sunnah bukan perintah wajib.[15]
Informasi ini menujukkan bahwa “sebaiknya” kepala negara itu dipilih
dari suku Quraisy, sebab secara sosiologis, mereka adalah kaum yang
berpengaruh, berwibawa dan cakap sehingga memiliki kualifikasi untuk
menduduki jabatan khalifah pada waktu itu.
Makna dalalah
tersebut juga didukung dengan materi hadis lain yang secara sosiologis,
tidak menyuarakan unsur sektarian primordial, yakni hadis yang
menyatakan keharusan orang-orang mukmin taat kepada pemimpin walaupun
pemimpin tersebut dari budak Habsyi. Realitas empiris yang terjadi dalam
kehidupan politik, Rasulullah saw pernah mengangkat Abdullah bin
Rawahah, Zaid bin Haritsa, dan Usamah bin Zaid menjadi amir (pemimpin), padahal mereka bukan keturunan Quraisy.[16]
Dengan demikian, pemahaman terhadap hadis yang dinyatakan oleh Nabi
dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara atau pemimpin masyarakat
harus dipahami secara kontekstual.
3. Sebagai Hakim
Adakalanya
suatu hadis dinyatakan Nabi saw dalam kapasitas beliau sebagai hakim
atau manusia layaknya manusia yang lain. Sebagai contoh adalah hadis
Nabi tentang keterbatasan pengetahuan hakim, berbunyi:
إنما
أنا بشر وإنه يأتيني الخصم فلعل بعضكم أن يكون أبلغ من بعض فأحسب أنه صدق
فأقضي له بذلك فمن قضيت له بحق مسلم فإنما هي قطعة من النار فليأخذها أو
فليتركها
Artinya:
Sesungguhnya saya adalah manusia (seperti manusia lainnya).
Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran mendatangi saya, maka
mungkin saja sebagian dari kalian (orang-orang yang bertengkar) lebih
mampu (berargumen) daripada yang lainnya, maka saya (Nabi) menduga bahwa
sungguh dia yang benar, lalu saya putuskan (perkara itu) dengan
memenangkannya. Barangsiapa yang telah saya putusnya dengan (mengambil)
hak sesama muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah potongan bara
api neraka, maka, (terserah) dia mengambilnya atau menolaknya. (HR.
Jama’ah).
Hadis
tersebut memberi petunjuk atas pengakuan Nabi saw sebagai manusia
layaknya manusia umumnya dan sebagai hakim. Dalam melaksanakan kedua
fungsi itu, Nabi mengaku memiliki kekurangan, mungkin saja dapat
dikelabuhi oleh kepintaran pihak yang berperkara dalam mengemukakan
argument-argumennya untuk memenangkan perkara. Walaupun, sesungguhnya
apa yang dia katakan itu tidak benar. Dalam mengadili perkara,
pengetahuan Nabi terbatas pada apa yang dinyatakan oleh pihak-pihak yang
berperkara berdasarkan bukti-bukti yang mereka ajukan. Bila keputusan
Nabi ternyata salah sebagai akibat dari kepintaran dari pihak yang
berperkara, maka dosanya ditanggung oleh pihak yang berhasil mengelabuhi
Nabi tersebut.
Apa
yang berlaku bagi hakim sebagaimana yang dikemukakan oleh Nabi saw.
tersebut bersifat universal. Akan tetapi, keputusan yang ditetapkan oleh
hakim disuatu segi mungkin bersifat universal, temporal, ataupun lokal,
sedangkan di segi yang lain, keputusan hakim itu mungkin benar dan
mungkin tidak benar. Dengan demikian, hadis Nabi tersebut dinyatakan
oleh Nabi saw. dalam kapasitas beliau sebagai hakim.[17]
4. Sebagai Pribadi
Dalam
kapasitas beliau sebagai manusia layaknya manusia yang lain, banyak
pernyataan Nabi saw, yang berkaitan dengan beliau ketika beliau
menyabdakan hadis tersebut layaknya manusia umumnya. Contoh;
عن عباد بن تميم عن عمه: أنه رأى رسول الله صلى الله عليه و سلم مستلقيا في المسجد واضعا إحدى رجليه على الأخرى .
Artinya:
Dari Ubad bin Tamin dari pamannya (Abdullah bin Zaid) bahwasanya dia
telah melihat Rasulullah saw. Berbaring dalam mesjid sambil meletakkan
kaki yang satu di atas kaki yang lain. (HR. Bukhari,Muslim, dan Ahmad).
Secara
tekstual, hadis di atas menunjukkan bahwa cara Nabi Saw. Berbaring
dalam posisi meletakkan kaki yang satu di atas kaki yang lain. Pada saat
itu tampaknya Nabi sedang merasa nyaman dengan berbaring dalam posisi
seperti yang digambarkan oleh hadis di atas, meletakkan kaki yang satu
di atas kaki yang lain.Perbuatan itu dilakukan oleh Nabi Saw. Dalam
kapasitas beliau sebagai pribadi.
Menghubungkan
kandungan petunjuk hadis Nabi dengan fungsi beliau tatkala hadis itu
terjadi, selain dimungkinkan juga sangat membantu untuk memahami
kandungan petunjuk hadis Nabi secara benar. Hanya saja, usaha yang
demikian itu tidak mudah dilakukan dan tidak mudah disepakati oleh
ulama. Pada sisi lain, menghubungkan kandungan petunjuk hadis Nabi
dengan fungsi beliau tatkala hadis itu terjadi menunjukkan bahwa tidak
semua hadis Nabi dapat dipahami secara tekstual, tetapi kadang
menghendaki pemahaman kontekstual. Itu berarti bahwa kandungan hadis
Nabi ada yang bersifat universal,temporal, atau lokal.[18]
Wallahu A’alam
Penutup
Klasifikasi hadis Nabi menurut fungsi-fungsi Nabi tatkala hadis itu di memang tidak mudah disusun, tetapi perlu dilakukan.
Untuk
hadis yang dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah,
ulama menetapkan kesepakatan bahwa wajib mematuhinya. Untuk hadis yang
dikemukakan oleh Nabi sedang kapasitasnya sebagai seorang kepala Negara
dan pemimpin masyarakat, misalnya pengiriman angkatan perang dan
pemungutan dana baitul mal, kalangan ulama ada yang mengatakan bahwa hadis tersebut tidak menjadi ketentuan syariat yang bersifat umum.
[1] Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, h. 33
[2] Mahmud Syaltut, al- Islam ‘Aqidah Wa Syari’ah, h. 509
[3] Arifuddin Ahmad, Paradigma Memahami Hadis Nabi, h. 177
[4] Syuhudi Ismail, Tekstual dan Kontekstual, h. 35
[5] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 180.
[6] Ibid.
[7] Nizar Ali, Hadis Versus Sains, h. 100-101.
[8] Syuhudi Ismail, Tekstual dan Kontekstual, h. 37-38
[9] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 182
[10] Al- Bukhari, Shahih al- Bukhari, juz. III, h. 1290
[11] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Juz. III, h. 1452
[12] Al- Tirmidzi, Sunan al- Tirmidzi, Juz. V, h. 23
[13] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz. III, h. 183
[14] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 183-184
[15] Taqiy al- Din al- Nabhani, Sistem Khalifah: Konsep Dan Kepemimpinan Umat Islam Seluruh Dunia. Terjemahan Muhammad al- Khaththat (Jakarta: Khazanah Islam, 1995), h. 37
[16] Nizar Ali, Hadis Versus Sains, h. 94
[17] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 184-186
[18] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h. 186-187
Komentar
Posting Komentar