Hukum Pencurian Dalam Islam
Hukum Pencurian Dalam Islam
A. Pengertian
Menurut bahasa pencurian adalah:
السرقة هي اخذ المال المتقو ملك للغير فى حرز مثله خفية
Artinya: Pencurian adalah mengambil harta orang lain yang bernilai secara diam-diam dari tempatnya yang tersimpan”.
Sedangkan menurut syara’, pencurian adalah:
السرقة هي أخذ المكلف خفية قدر عشرة دراهم فضروبة محرزة أو خافظ بلا شبهة .
Artinya:
pencurian adalah mengambil harta orang lain yang oleh mukallaf secara
sembunyi-sembunyi dengan nisab 10 dirham yang dicetak, disimpan pada
tempat penyimpanan yang biasa digunakan atau dijaga oleh seorang penjaga
dan tidak ada syubhat.
Adapun maksud dari pengertian tersebut adalah sebagai berikut;
1. Kalimat diambil oleh orang mukallaf
yaitu orang dewasa yang waras, jika seandainya yang mengambil harta
mencapai satu nisab tapi dilakukan oleh anak dibawah umur atau orang
gila, maka tidak berhak diberikan hukuman potong tangan.
2. Secara sembunyi-sembunyi,
sekalipun yang mengambil harta orang lain adalah orang dewasa dan waras
tapi dilakukan secara terang-terangan, maka tidak disebut dengan
pencurian.
3. Nisab (jumlah) 10 dirham yang dicetak.
Barangsiapa yang mencuri sebatang perak yang tidak dicetak menjadi uang
yang beratnya 10 dirham yang dicetak, maka ia tidak dianggap seorang
pencuri menurut syara’, karena tidak dikenakan potong tangan.
4. Disimpan di suatu tempat.
Maksudnya, barang yang dicuri itu diambil dari tempat yang disiapkan
untuk menyimpan barang-barang tersebut yang biasa disebut dengan hitzan.
Seprti; rumah-rumah, flat-flat atau hotel-hotel, laci-laci dan lain
sebagainya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang berharga dengan
aman.
5. Disimpan dengan penjagaan seorang penjaga.
Maksudnya, barang yang diambil itu dijaga oleh penjaga. Dalam hal ini
barang tersebut diletakkan disuatu tempat yang tidak biasanya disiapkan
untuk penyimpanan barang, tetapi ditentukan penjaganya, misalnya satpam
dan sebagainya dengan maksud agar barang tersebut tidak dicuri atau
hilang. Sebagai contoh, orang-orang yang hendak membangun rumah atau
bangunan yang meletakkan besi-besi, semen, balok-balok dan sebagainya di
tempat-tempat umum dan menunjuk seseorang untuk menjaganya dari
tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Jika seandainya seseorang
mengambil sesuatu dari barang-barang tersebut walaupun dalam kelalaian
penjaganya dan barang yang diambil itu mencapai satu nisab (10 dirham),
maka ia dianggap pencuridan akan dijatuhkan hukuman potong tangan.
6. Tidak ada syubhat.
Maksudnya, tidak dipotong tangan orang yang mengambil harta yang
disimpan ditempat penyimpanannya, kecuali apabila harta yang diambilnya
itu luput dari syubhat. Misalnya, seorang suami mengambil harta istrinya
di tempat penyimpanannya maka suami tersebut tidak dihukum potong
tangan karena pencampuran keduanya dalam mu’asyarah zaujiyyah
merupakan suatu syubhat yang dapat menggurkan hukuman. Sedangkan hukuman
menjadi gugur karena adanya syubhat. Demikian pula tidak dipotong
tangannya orang yang mencuri harta kerabatnya. Dan tidak dihukum potong
tangan karena syubhat memungkinkan harta yang dicuri adalah harta
rampasan.
B. Hukuman Tindak Pidana Pencurian Menurut Hadis
Para
fuqaha telah sepakan bahwa pencuria haram hukumnya, serta hukuman
potong tangan pada pelakunya adalah wajib dilaksanakan dan tidak boleh
bagi hakim atau dengan perantaan seseorang untuk menggugurkannya bila
telah memenuhi syarat pencurian. Pendapat mereka berdasarkan hadis Nabi
saw;
عن
عائشة : أن أسامة كلم النبي صلى الله عليه و سلم في امرأة فقال: إنما هلك
من كان قبلكم أنهم كانوا يقيمون الحد على الوضيع ويتركون على الشريف والذي
نفسي بيده لو فاطمة فعلت ذلك لقطعت يدها .
Artinya:
Dari Aisyah ra; sesungguhnya Usamah meminta pengampunan kepada
Rasulullah saw. tentang seseorang yang mencuri, lalu Rasulullah
bersabda; bahwasanya binasa orang-orang sebelum kamu disebabkan karena
mereka melaksanakan hukuman hanya kepada orang-orang yang hina dan
mereka tidak melaksanakannya kepada orang-orang bangsawan. Demi yang
jiwaku dalam kekuasaanNya, jika seandainya Fatimah yang melakukannya,
pasti aku potong tangannya. (HR. Bukhari)
Dalam hadis yang lain;
يا
أيها الناس إنما ضل من كان قبلكم أنهم كانوا إذا سرق الشريف تركوه وإذا
سرق الضعيف فيهم أقاموا عليه الحد وايم الله لو أن فاطمة بنت محمد سرقت
لقطع محمد يدها .
Artinya;
Wahai sekalian manusia; bahwasanya menjadi sesat orang-orang sebelum
kamu karena apabila orang-orang bangsawan yang mencuri mereka tidak
menghukumnya dan apabila orang yang lemah yang mencuri mereka jatuhi
hukuman padanya. Demi Allah sekiranya Fathimah binti Muhammad yang
mencuri pasti Muhammad memotong tangannya. (HR. Bukhari).
Hadis
tersebut diatas berkenaan dengan kemarahan Rasulullah saw. karena
didatangi oleh Usamah yang memintakan ampunan terhadap seorang wanita
yang mencuri yang telah dijatuhi oleh Rasulullah saw. hukum potong
tangan.
Dalam
hadis itu menunjukkan bahwa hukum potong tangan wajib dilakukan
meskipun yang mencuri adalah keluarga dekat. Sebagaiamana ditegaskan
oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya beliau “sekiranya Fathimah binti
Rasulullah yang mencuri pasti akan dipotong tangannya”.
Dalam QS. Al- Maidah ayat 38, Allah berfirman;
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ .
Artinya;
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
kedua (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaaan dari allah dan allah maha perkasa lagi maha bijaksa.(QS Al-Ma’idah[5]:38).
Hukum
potong tangan telah terjadi sejak zaman sebelum islam sebagaimana
disebutkan oleh al- Qurthubi; sungguh telah dihukum potong tangan
dizaman jahiliyah ialah Al- Walidah bin Al- Mughirah, kemudian Allah
memerintahkan pula dimasa islam. Dalam sejarah orang yang petama kali
dihukum potong tangan dalam islam oleh Rasulullah adalah Al- Khiyar bin
Ady Naufal bin Abd. Manaf dan perempuan yang bernama Murrah binti Sufyan
bin Abd Al- Asad dari Bani Makhzum.[1]
C. Pelaksanaan Hukum Pencurian
Menurut hadis, dalam pelaksanaan hukuman bagi tindak pencurian perlu diperhatikan hal-hal berikut,
a. Pencurian
Pencurinya
adalah seorang mukallaf (dewasa dan waras). Fuqaha telah sepakat
menetapkan bahwa tangan pencuri tidak dipotong kecuali bila ia adalah
orang dewasa dan waras. Berdasarkan hadis Nabi saw. dari Ibn Abbas;
أن
رسول الله صلى الله عليه و سلم قال " رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون
المغلوب على عقله حتى يفيق وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم .
Artinya:
sesungguhnya Rasulallah saw. bersabda; dimaafkan kesalahan dari tiga
orang; orang gila yang hilang kesadarannya hingga ia sembuh, orang yang
tidur hingga ia bangun, dan anak di bawah umur (anak kecil) hingga ia
dewasa. (HR. Abu Daud).
Dalam
hadis tersebut jelas disebutkan bahwa orang gila tidak dikenakan sanksi
hukum hingga mereka sembuh, orang tidur hingga ia bangun, anak-anak
dibawah umur hingga mereka dewasa. Ketiga golonga tersebut tidak dihisab
karena melakukan perbuatan yang menimbulkan dosa dan tidak dihukum
karena melakukan tindak pidana, baik di dunia maupun di akhirat.
b. Barang Curian
Diantara
syarat-syarat yang paling penting yang harus diperhatikan dari barang
curian adalah nisabnya. Jumhur ulama telah sepakat mengatakan bahwa
barang curian yang mengharuskan potong tangan itu harus mencapai satu
nisab, namun mereka berbeda pendapat mengenai berapa kadar nisab yang
mengharuskan potong tangan itu. Khulafau al- Rasyidin dan sebagian
fuqaha tabi’in berpendapat bahwa nisab barang curian yang mengharuskan
potong tangan adalah tiga dirham dari uang perak atau ¼ dinar dari uang
emas dan pendapat inipulalah yang dipegangi oleh Imam Asy- Syafi’i.
berdasarkan hadis Nabi saw. dari Abdullah bin Umar;
قطع النبي صلى الله عليه و سلم يد السارق في مجن ثمنه ثلاثة دراهم .
Artinya: Nabi saw. memotong tangan seorang pencuri .(HR. Muslim).
Dalam hadis yang lain, riwayat Aisyah ra.;
عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لا تقطع يد السارق إلا في ربع دينار فصاعدا .
Dari Nabi saw. bersabda; jangan memotong tangan seorang pencuri kecuali mencapai ¼ dinar keatas. (HR. Muslim).
Ulama
Hanafiyah, Mazhab Al- Itrah (mazhab ahlu al- Bait) dan seluruh fuqaha
dan seluruh fuqaha Iraq berpendapat bahwa nisab barang curian yang
mengharuskan potong tangan adalah sepuluh dirham.
عَنْ
أَيْمَنَ قَالَ يُقْطَعُ السَّارِقُ فِي ثَمَنِ الْمِجَنِّ وَكَانَ ثَمَنُ
الْمِجَنِّ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دِينَارًا أَوْ عَشْرَةَ دَرَاهِمَ
Artinya:
Dari Aiman ia berkata: seorang pencuri dipotong tangannya (mencuri)
seharga perisai dan harga perisai pada masa Rasulullah saw. adalah satu
dinar atau 10 dirham. (HR. Al- Nasai).
Kedua
macam pendapat tersebut semuanya berdasarkan hadis Nabi saw. tentang
harga perisai yang dicuri yang dijatuhkan hukuman potong tangan
kadangkala disebutkan harganya 3 dirham atau ¼ dinar dan terkadang pula
disebutkan harganya 10 dirham. Karena alasan kedua pendapat tersebbut
saling bertentangan maka, Ibn Hajar mengkompromikan hadis-hadis yang
mereka jadikan dasar dalam menetabkan nisab barang curian itu, bahwa
Nabi memotong tangan pencuri seharga perisai yang harganya berbeda
karena berbeda waktu pelaksanaan hukuman. Satu kali Rasulullah
menjatuhkan hukuman potong tangan seharga perisai yang harganya 3 dirham
atau ¼ dinar dan satu kali beliau menyatakan hukuman potong tangan
seharga perisai yang harganya 10 dirham, atau harga perisai itu berbeda
karena perbedaan kualitasnya.
Nampaknya
pendapat yang lebih tepat adalah pendapat kelompok kedua yaitu pendapat
ulama Hanafiyah, mazhab Fitrah dan Fuqaha Irak yang mengatakan bahwa
nisab nisab barang curian yang mew jibkan hukuman potong
tangan adalah 10 dirham. Karena htidak ada perbedaan pendapat tentang
wajib potong tangan pada barang curian yang mencapi harga 10 dirham, dan
yang diperselisihkan adalah nisab 3 dirham.
Perbedaan itu membawa kepada syubhat yang menggugurkan hukuman potong tangan sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis tersebut.
c. Barang Curian Itu Diambil Secara Sembunyi-sembunyi Dari Tempat Penyimpanan.
Unsur ini didasarkan hadis riwayat Amr bin al- Ash berikut;
عن
عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده عبد الله بن عمرو بن العاص: عن رسول الله صلى
الله عليه و سلم أنه سئل عن الثمر المعلق فقال " من أصاب بفيه من ذي حاجة
غير متخذ خبنة فلا شىء عليه ومن خرج بشىء منه فعليه غرامة مثليه والعقوبة
ومن سرق منه شيئا بعد أن يؤويه الجرين فبلغ ثمن المجن فعليه القطع .
Artinya:
Dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya yaitu Amr bin al- Ash;
Dari Rasulullah saw, sesungguhnya Rasulullah saw. ditanya tentang buah
yang tergantung diatas pohon, lalu beliau bersabda; barangsiapa yang
mengambil barang orang lain karena terpaksa untuk menghilangkan lapar
dan tidak terus- menerus, maka tidak dijatuhkan hukuman kepadanya. Dan
barangsiapa mengambil sesuatu barang, sedang ia tidak membutuhkannya dan
tidak untuk menghilangkan lapar, maka wajib atasnya mengganti barang
tersebut dengan yang serupa dan diberikan hukuman ta’zir. Dan
barangsiapa mengambil sesuatu barang sedangkan ia tidak dalam keadaan
membutuhkan, dengan sembunyi-sembunyi setelah diletaknya di tempat
penyimpanannya atau dijaga oleh penjaga, kemudian nilainya seharga perisai maka wajib atasnya dihukum potong tangan. (HR. Abu Daud).
Hadis
tersebut jelas menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan hukum potong tangan
itu, adalah pencuri mengambil harta dengan cara sembunyi-sembunyi dari
tempat yang biasa digunakan untuk menyimpan harta tersebut atau ada
orang yang menjaganya dan telah senisab.
Demikianlah
tiga unsur pencurian yang harus di penuhi dalam pelaksanaan hukum
potong tangan terhadap pencuri. Selain unsur-unsur pencurian yang telah
disebutkan harus diperhatikan dalam menjatuhkan hukum
potong tangan juga harus diperhatikan situasi dan kondisi sosial
masyarakat tempat tinggal si pencuri. Tanpa memperhatikan situasi dan
kondisi masyarakat maka hal itu dianggap syubhat dalam pelaksanaan hukum
potong tangan, karena dalam pelaksanaan hukum tesebut tidak boleh ada
syubhat, sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW .
كان له مخرج فخلوا سبيله فإن الإمام أن يخطئ في العفو خير من أن يخطئ في العقوبة
Artinya:Tangguhkan hudud
(hukuman) terhadap orang-orang islam sesuai dengan kemampuanmu. Jika
ada jalan keluar maka biarkanlah mereka menempuh jalan itu. Sesungguhnya
penguasa tersalah dalam memaafkan, lebih baik dari tersalah dalam
pelaksanaan hukuman. (HR. Al- Tirmidzi)
Atas
dasar ini, sebelum hukuman-hukuman diterapkan atau dijatuhkan pada si
pelanggar, terlebih dahulu harus diciptakan kondisi sosial ekonomi yang
adil di dalam masyarakat di mana orang yang melanggar hukum hudud itu
hidup. Jika belum tercipta kondisi seperti itu, hukuman tersebut tidak
boleh dilaksanakan karena pelaksanaannya merupakan kezaliman.
Di
akhir tahun ke-18 Hijriyah, masyarakat Arab di Hijaz, Tihama, dan Nejd
mengalamai musim paceklik yang berat. Peristiwa ini terjadi pada musim
kemarau yang panjang. Hujan yang menjadi ukuran kehidupan mereka, selama
sembilan bulan terus menerus telah terputus, bumi berubah menjadi
seperti abu.
Pada masa ini Umar tidak menjatuhkan hukum potong tangan terhadap pencuri, karena kurang illat yang mengharuskan hukuman potong tanganyang disebut dalam ushul fiqhi dengan Al illat An Naqisbab.
Dalam
riawayat tersebut dapat di pahami, bahwa kebijaksanaan Umar untuk tidak
melaksanakan hukuman potong tangan, karena ia memperhatikan subyek
pelakunya dalam kondisi darurat, yaitu kesulitan mendapatkan bahan
makanan ketika itu. Sebagaimana di sebutkan fiqh Umar : Siapa yang
mencuri dalam keadaan darurat dibolehkan menangguhkan hukuman kepadanya,
karena terdapat perkataan syubhat bagi dirinya dan dibolehkan yang
terlarang karena darurat. Hal ini disebutkan pula di dalam Al Qur’an
surat Al Baqarah ayat 173.
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ …
Artinya:
Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam
ayat ini disebutkan, bahwa seseorang yang dalam keadaan darurat
dibolehkan memakan yang terlarang. Didalam qaidah disebutkan pula;
الضرورات تبيح المحظورات
Artinya: Keadaan darurat itu membolehkan melakukan yang terlarang.[2]
Dalam kasus pencurian dimasa Umar bin Al Khattab ada dua yang bertentangan pada diri pencuri tersebut. Pertama menjaga diri dari jatuh ke dalam kebinasaan dengan tidak diperbolehkannya makan. Kedua menjaga harta orang lain dari teraniaya.Keduanya wajib di pelihara, karena kedua-duanya termasuk aspek dharuriyat(primer).
Mana yang harus didahulukan dari keduanya? Berpedoman pada prinsip
tersebut di atas, maka dalam peristiwa serupa ini maka menjaga diri dari
kebinasaan harus di dahulukan dari menjaga harta orang lain. Dengan
demikian, syubhat dalam pencurian tersebut dilarang mencuri, adapula
dalil yang membolehkannya dalam keadaan darurat.
Disini
dapat dipahami, bahwa keputusan Umar yang tidak menjatuhkan hukuman
kepada pencuri itu, berkaitan erat dengan masalah tujuan syari’at (مقاصد الشريعة), yang menekankan agar manusia senantiasa menjaga dan melindungi lima unsur Dharuriyah (primer), yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dari
kelima unsur itu, mempertahankan jiwa menempati peringkat kedua setelah
agama, sedangkan melindungi harta menduduki urutan kelima(terakhir).
Oleh karena itu, dalam kasus ini Umar tidak melaksanakan hukuman potong
tangan karena jiwa lebih mulia daripada harta
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukuman (had) potong tangan
terhadap pencuri adalah sebagai hukuman maksimal, di samping harus
terpenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam unsur pencurian , harus di
perhatikan pula situasi dan kondisi sosial masyarakat tempat domisili si
pencuri. Apabila memenuhi syarat menurut syari’at , baru dapat
dilaksanakan hukuman potong tangan bagi pelakunya . syarat-syarat
tersebut agaknya susah dipenuhi, maka kepada sipencuri dikenakan hukuman
ta’zir, yaitu hukuman pendidikan dan pelajaran yang tidak disyariatkan
dalam hukuman (had) yang bentuk hukumannya berbeda-beda, sesuai dengan
keadaan kejahatan dan pelakunya. Hukuman ta’zir ini berat dan ringannya
hanya diserahkan kepada penguasa/hakim untuk menentukan hukuman mana
yang sesuai di berikan kepada pelaku kejahatan.
Wallahu A’alam
Komentar
Posting Komentar