Hukum Membaca Sayyidina

HUKUM MEMBACA SAYYIDINA

Para ulama  terdahulu telah berbeda pendapat mengenai hukum membaca Sayyidina ketika bersalawat kepada Nabi saw. Padahal dari segi kedalaman ilmu, tidak ada lagi sosok seperti mereka. Kalau pun kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang mengikuti pendapat itu sekarang ini. Sebab mereka hanya mengikuti fatwa para ulama yang mereka yakini kebenarannya. Dan selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama mazhab, kita tidak mungkin menghinanya begitu saja.
Adab yang baik adalah kita menghargai dan mengormati hasil ijtihad mereka. Dan tentunya juga menghargai orang yang mengikuti fatwa mereka, di masa sekarang ini. Lagi pula, perbedaan ini bukan perbedaan dari segi aqidah yang merusak iman, melainkan hanya masalah kecil, atau hanya berupa cabang-cabang agama. Tidak perlu kita sampai meneriakkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita sebagai tukang bid’ah.
Adapun shalawat yang diajarkan oleh Nabi saw. ketika sahabat menanyakan cara bershalawat kepada beliau. Sebagaimana digambarkan dalam hadis riwayat Muslim berikut;
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ فِى مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ لَهُ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ أَمَرَنَا اللَّهُ تَعَالَى أَنْ نُصَلِّىَ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى تَمَنَّيْنَا أَنَّهُ لَمْ يَسْأَلْهُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قُولُوا  اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.                                     
Artinya: Dari Abu Mas’ud al- Anshari ia berkata; Rasulullah saw. mendatangi kami sedang kami di majlis Sa’ad bin Ubadah, maka Basyir bin Sa’ad berkata; Allah swt. Memerintahkan kami agar bershalawat kepadamu wahai Rasulullah, maka bagaimana kami bershalawat kepamu?. Abu Mas’ud al- Anshari berkata; Rasulullah saw. diam sehingga….kemudian Rasulullah saw. bersabda; Bacalah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.       
Shalawat tersebut adalah jawaban atas pertanyaan sahabat, jadi wajarlah jika beliau tidak menyebutkan gelar atau nama penghormatan disaat menyebut namanya, yang sebenarnya sangat pantas bagi beliau. Sama halnya dengan seseorang ketika ditanya, siapa namamu? atau bagaimana cara kami menyebut namamu?. Bagi orang yang memiliki rasa rendah hati tidak mungki akan menjawab dengan disertakan gelar yang dimilikinya.
A.    Dasar Hukum Dari Al- Qur’an
Dalam al- Qur’an Allah swt. melarang memanggil Rasul saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya,
لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضاً قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمْ لِوَاذاً فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ .
Artinya: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.           (QS. al- Nur: 63).
Kata kamu dalam ayat di atas adalah ditunjukkan kepada sahabat Nabi Muhammad saw., ayat tersebut dapat kita tafsirkan bahwa jangan kamu memanggilkan Nabi Muhammad saw. sama dengan kamu memanggil temanmu.
Mujahid dan Sai’d bin Jubair selaku ulama tafsir dari kalangan tabi’in menafsirkan ayat tersebut dengan “jangan kamu memanggil Rasullah saw. dengan panggilan sama dengan yang lainnya”. Misalnya, kamu memanggil ya Muhammad, tapi penggillah ya Rasulallah.
Dalam surah yang lain Allah swt. menyebut Nabi Yahya dengan Sayyid (menjadi ikutan), firman Allah;
فَنَادَتْهُ الْمَلآئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَـى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللّهِ وَسَيِّداً وَحَصُوراً وَنَبِيّاً مِّنَ الصَّالِحِينَ                                       
Artinya: Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariyah, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di Mihrab; (katanya), “sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat[1] (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi yang termasuk keturunan orang-orang shaleh”. (QS. Ali Imran: 39).
Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. sebagai seorang Sayyid (seorang pemimpin dan ikutan). Kalau Nabi Yahya as. dikatakan seperti itu maka Nabi Muhammad saw. juga sangat pantas mendapat gelar itu karena beliau adalah pemimpin bagi anak cucu Adam as. di hari kiamat bahkan beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Karenanya warga An Nahdlah menggunakan kata Sayyidina dalam shalawatnya, baik dalam shalat maupun di luar shalat.
B.     Dasar Hukum Dari Hadis
1.      Hadis Dari Rifa’ah bin Rafi’
Salah seorang sahabat yang bernama Rifa’ah bin Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata; Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah saw. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’ beliau membaca: Sami’allahu Liman Hamidah, tiba-tiba salah seorang makmum berkata;
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: Siapakah yang mengatakan kalimat-kalimat itu tadi?. Orang yang yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah saw. bersabda:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ .
Artinya: Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya. (HR. Bukhari, Abu Daud, Al- Nasa’i, Ahmad, dan Imam Malik) .
Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah bin Rafi ini beliau katakan: Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara.
a.      Menunjukkan kebolehan menyusun zikir yang tidak ma’tsur (yang tidak berasal dari Nabi saw.) di dalam shalat selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi saw).
b.      Boleh mengeraskan suara zikir selama tidak mengganggu orang yang ada di dekatnya.
c.      Orang yang bersin dalam shalat diperbolehkan mengucapkan               al- hamdulillah tanpa dihukumi makruh.[2]
Dengan demikian tidak ada masalah dan boleh hukumnya menambahkan kata Sayyidina dalam shalawat baik dalam shalat maupun diluar shalat. Karena tambahan kata Sayyidina sesuai dengan dasar syari’at dan tidak bertentangan sama sekali. Dalam hadis shahih Nabi saw. bersabda;
انَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ القِيَامَةِ .        
Artinya: Saya adalah pemimpinnya manusia pada hari kiamat.               (HR. Bukhari, Muslim dan al- Tirmidzi).
2.      Penambahan Lafaz Talbiyah
Umar bin al- Khaththab ra. menambahkan lafaz talbiyah yang diajarkan oleh Nabi saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim. Adapun talbiyah yang diajarkan oleh Nabi saw. adalah;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ
Namun, Umar ra.  menambahkan, sebagai berikut;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِى يَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.
Dalam riwayat al- Nasai bahwa Ibn Umar menambahkan sebagaimana lafaz yang tertera di atas.
3.      Penambahan Lafaz Tahiyat
            Abdulah bin Umar ra. menambahkan lafaz tahiyat dalam shalatnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya.
Adapun lafaz tahiyat yang diajarkan oleh Rasulullah saw. adalah;
...أشْهَدُ أنْ لّا إلهَ إلّا الله قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ [ فِيْهَا ] وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ….

…Asyhadu an la Ilaha Illallah, Ibn Umar berkata; saya menambahkan Wahdahu la syarikalah…(HR. Abu Daud).                                                                                                      
Hadis kedua dan ketiga di atas menunjukkan kebolehan munyusun zikir atau bacaan tertentu selama tidak bertentangan dengan syari’at.
C.    Dasar  Hukum Dari Dalil Aqli
Kata Sayyidina asalnya adalah Sayyid yang berarti seorang pemimpin, yang kata kerjanya adalah Saada-Yusudu (ساد- يسود) jika Dimuta’addikan,[3] menjadi Sawwada – Yusawwidu (سوّد – يسوّد) yang berarti yang dimuliakan, yang membawahi suatu kaum, dan mengangkat jadi pemimpin. Dengan demikian jika mengawali shalawat kepada Nabi saw. maka itu sama halnya dengan; memuliakan,  menghormati dan mengangkat Nabi sebagai pemimpinnya. Apakah pantas hal itu dikatakan suatu kesalahan?. Semua umat Islam mungkin akan menjawab bahwa hal itu sangat pantas untuk dilakukan yaitu mengawali nama Rasulullah saw. dengan kata Sayyid.
Adapun dengan hadis yang mengatakan bahwa,
لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ .
Artinya: Janganlah mensayyidkan aku dalam shalat.            
Hadis tersebut akan anda temukan dalam kitab-kitab fiqhi di antaranya dalam kitab al- Fatawa al- Fiqhiyyah al- Kubra (الفتاوى الفقهية الكبرى) , bab, Shifatu al- Shalah (صفة الصلاة). Tapi, Ulama telah mengomentari bahwa hadis tersebut tidak ada asalnya. Bahkan Maudhu’ atau palsu. Salah satu alasanya adalah  karena hadis tersebut mengandung Lahn,[4] lafaz Latusayyiduni (لا تسيدونى), menyalahi kaidah yang telah dikenal karena seharusnya berbunyi Latusawwiduni (لا تسودونى). Sedangkan Nabi saw. sebagai seorang Rasul tidak mungkin mengucapkan lafaz yang salah (mengandung lahn).
Kitab al- Duru al- Mukhtar menyebutkan bahwa menambahkan kata Sayyidina sebelum nama Nabi saw. adalah lebih mulia daripada tidak membacanya, karena itu merupakan adab kesosopanan terhadap Rasulullah saw. bahkan ini adalah pendapat yang telah diakui dan dipercayai.
Dalam adab kita sendiri rasanya sangat jauh dari tata kesopanan jika memanggil orang-orang yang terhormat dengan panggilan tanpa diikut sertakan dengan gelarnya atau panggilan penghormatan menurut adat setempat. Misalnya, Daeng menurut adat Makassar, Puang menurut adat Bugis, kiai bagi ulama menurut adat Jawa dan lain-lain.
Wallahu A’alam



[1] Maksudnya membenarkan kedatangan seorang Nabi yang diciptakan dengan kalimat Kun (jadilah) tanpa bapak, yaitu Nabi Isa as.
[2] Ibn Hajar, Fathu al- Bari, jild. II, h. 287
[3] Dalam bahasa Arab Fi’il (kata kerja) terbagi dua a. Fi’il Lazim adalah fi’il yang tidak butuh objek. Contoh, جلس (duduk) kata ini tidak butuh objek. b. Fi’il Muta’addi adalah Fi’il yang butuh objek. Contoh, جَلَّسَ (mendudukkan) kata ini jelas butuh objek yaitu sesuatu yang akan didudukkan.
[4] Mengandung Lahn maksudnya menyalahi kaidah sharaf yang telah dikenal oleh orang Arab .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berakhirnya Dinasty Ayyubiyah

Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasty Ayyubiyah

Hukum Pencurian Dalam Islam